Pembahasan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat
(PPHMA) lamban. Pengesahan RUU pada periode inipun kemungkinan besar
tertunda. Terlebih, DPR akan memasuki masa reses menjelang pemilu
legislatif, dan baru aktif pada Mei.
Rukka Sambolinggi, staf ahli Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN), mengatakan, RUU ini sudah lama sekali dibahas tetapi belum
disahkan. Padahal, UU ini sangat penting guna menyelamatkan masyarakat
adat yang banyak berhadapan dengan konflik dan kriminalisasi.
“Beberapa waktu lalu ada pembakaran rumah masyarakat adat, karena
mereka dianggap masuk taman nasional. Padahal, kawasan itu baru sebatas
penunjukan. Mereka berlindung di balik UU P3H. Saat ini empat orang
masih dipenjara,” katanya saat dengar pendapat di Gedung DPR, Jakarta
Rabu (5/2/14).
Keadaan ini, menunjukkan betapa pengesahan RUU PPMHA sangat mendesak.
Banyak hak-hak masyarakat adat dilanggar dan memerlukan penanganan
segera. Rukka mengatakan, RUU PPMHA harus sejalan dengan UUD 45 Pasal 18b
ayat 2 mengenai pengakuan hak-hak yang bersifat materiil seperti tanah,
wilayah, SDA dan sistem pemerintahan termasuk peradilan adat. Lalu Pasal
28i ayat 3, mengenai pengakaun hak-hak asasi masyarakat adat atas
budaya, tradisi, dan spiritual.
“UU ini, penting untuk mengoperasionalkan hak masyarakat adat sebagaimana mandat UUD 45.” Rukka berharap, penjelasan-penjelasan yang dia sampaikan bisa
diterima, misal, soal penggunaan istilah, kelembagaan, dan hak-hak yang
diakui. “Mencapai masyarakat adat berdaulat secara politik, ekonomi dan
budaya, harus diatur seperti ini.” Himmatul Alyah Setiawaty, anggota DPR Fraksi Demokrat, menanggapi.
Menurut dia, DPR harus bisa mengakomodir semua hal yang diperlukan
masyarakat adat. “Sekarang ini masih banyak perpecahan. Kalau memang ita
mau cepat, kita harus rasional. Kita punya waktu satu bulan. Kalau kita
bisa bekerja maraton nanti bisa dibahas saat rapat kerja dengan
pemerintah,” ujar dia.
Guna mendapatkan hasil komprehensif, dalam menyusun RUU ini, katanya,
perlu kehati-hatian. Sebab, ketika berbicara masyarakat hukum adat
perlu harmonisasi dengan peraturan-peraturan yang ada. “Negara lain sudah mempunyai UU indigenous people, seperti di Australia ada Aborigin, dan Amazon. Ternyata mereka lebih berbicara soal pengaturan budaya.Itu lebih simple. Hanya budaya dan bahasa diakui. Nanti kaitan dengan hak kekayaan intelektual.” Sedang yang dibahas dalam RUU PPMHA lebih lengkap. Ia tak hanya
mengatur soal budaya dan bahasa tetapi seluruh aspek hak-hak masyarakat
adat, termasuk aspek hukum. “Bagaimana kita mengatur agar mereka bisa masuk dari sistem hukum
nasional. Kita juga mau UU ini benar-benar bisa mengakomodir semua
kebutuhan demi kenyamanan masyarakat adat.”
Popong Otje Djundjunan, anggota DPR Fraksi Golkar mengatakan, yang
penting semua berjalan cepat dan baik. Sebab jika dipaksa cepat tetapi
hasil tak baik, akan merugikan. Begitu sebaliknya.“Baik tapi lama juga
tidak dibenarkan. Saya lihat perkembangan, pptimis atau pesimis
tergantung anggota lain.” Erasmus Cahyadi menimpali, menunda pengesahan RUU ini berarti membiarkan kriminalisasi masyarakat adat terus terjadi. Dia mencontohkan, di Bengkulu terjadi pembakaran rumah masyarakat
adat. Hal itu terjadi karena ada peraturan yang tidak berpihak kepada
masyarakat adat, seperti UU P3H, UU Penanganan Konflik Sosial, UU
Minerba, dan UU Pengadaan Tanah. “UU ini selalu dipakai
mengkriminalisasi masyarakat adat.”
Untuk itu, pengesahan RUU ini makin mendesak. Dia berharap, tak ada
penundaan lagi karena makin lama pengesahan RUU, konflik-konflik menjadi
sulit ditangani. “Bukan hanya sulit ditangani, tetapi akan terus
menciptakan konflik.” Himmatul menanggapi. Menurut dia, pansus menunggu pengesahan UU
Pertanahan karena kasus-kasus seringkali terjadi terkait pertanahan.
“Pansus akan mengharmonisasikan ini agar tak bertentangan dengan UU
Pertanahan juga UU lain.”
Komisi Nasional Masyarakat Adat
Rukka mengatakan, ketika RUU ini disahkan perlu dibentuk Komisi
Nasional Masyarakat Adat. Komisi ini untuk memastikan setiap peraturan
dalam RUU berjalan dengan baik. Komnas ini, katanya, berperan memastikan konflik-konflik masyarakat
adat termasuk dengan pemerintah bisa diselesaikan. Ia juga mengakomodir
dan memastikan ada koordinasi lintas sektor melibatkan masyarakat adat
dan pemerintahan bisa terjalin baik. Rukka juga menyarankan dibentuk
komisi sama di tiap daerah.
Komisi ini berperan mengidentifikasi masyarakat adat. “Di dalamnya
ada unsur pemerintah, akademisi, masyarakat adat dan unsur lain untuk
menjalankan peran komisi ini.”
Diskriminasi
Sedangkan Dewi Kanti, perwakilan masyarakat adat Cigugur mengatakan,
masyarakat adat selama ini selalu dianaktirikan. Masyarakat adat
kesulitan kala mengurus administrasi catatan sipil seperti KTP dan akta
lahir untuk anak mereka. “Dalam beberapa pasal, kami khawatir ada pengulangan kekeliruan,
seperti dalam UU Administrasi Kependudukan. Kami dulu diundang sekali,
tapi tidak ada tindak lanjut, tahu-tahu sudah ketok palu. Padahal, masih
banyak keberatan kami terutama soal catatan sipil terutama soal
pencantuman kolom agama,” katanya. Dia mengatakan, masyarakat adat banyak penganut kepercayaan. Namun,
mereka diberi syarat dan dipaksa memilih salah satu agama atau
seolah-olah terlihat berorganisasi. Padahal, dalam tatanan masyarakat
adat tidak ada struktur organisasi hanya sesepuh. “Jangan sampai kesalahan terulang kembali di RUU ini. Jangan sampai
dikejar target, ingin segera ketok palu ujung-ujung malah di-judicial review.”
Dewi mengatakan, RUU ini masih bias dalam kepentingan perempuan dan
mekanisme sanksi adat juga tidak jelas. “Bagaimana menjembatani antara
hukum adat dan hukum negara. Perlu juga masukan-masukan dari berbagai
pihak, antropolog, budayawan.” Menurut dia, masyarakat bisa menunggu asal matang. “Bukan seolah-olah
masyarakat ingin didaftar sebagai masyarakat adat. Adat bagi kami
adalah entitas atau kodrat bukan atas pemberian dan legitimasi negara.”
Hal penting lagi, yang diperlukan masyarakat adat itu perlindungan.
Negara harus menjamin hak-hak konstitusi dan tidak didiskriminasi.
“Kalau ada pernikahan, kami cukup melaporkan. Di zaman Jepang,
pernikahan adat masih diakomodir. Mengapa sekarang pernikahan adat
selalu dianggap liar? Kami menderita,” kata Dewi.
Hal serupa dikatakan perwakilan masyarakat adat Cirendeu-Cimahi, Asep
Wardiman. Dia mengatakan, masyarakat adat sering dimarjinalkan. “Dalam
membuat akta kelahiran sekolah anak, misal. Kami diminta buku nikah,
sementara kami menggunakan cara adat. Kami mentok, karena tidak
berbentuk organisasi. Tak ada ketua, organisasi tapi ada sesepuh.” Asep berharap, kolom agama di KTP ditulis kosong dan meminta
pemerintah mengakui mereka sebagai penganut ajaran Sunda Wiwitan.
“Sebenarnya sabelum ada negara ini, kami sudah ada duluan. Ajaran kami
lebih ke lisan, bukan tulisan.” Selain itu, selama ini masyarakat adat memiliki kontribusi besar
menjaga kelestarian alam. Mereka mejaga lingkungan dengan kearifan lokal
karena alam sumber kehidupan. “Di Kampung adat tidak ada longsor,
banjir dan bencana alam, karena kami sangat menjaga betul.
source : Indra Nugraha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar