Deklarasi Palangkaraya menyerukan kepada masyarakat
dunia, pemerintah dan organisasi internasional menghormati dan melindungi hak
atas tanah, hutan dan wilayah sumber daya alam masyarakat adat dan komunitas
lokal. Ia sebagai hak yang dilindungi hukum internasional. Seruan itu
merupakan keputusan pada lokakarya Deforestasi dan Hak-hak Masyarakat Adat dan
Masyarakat Lokal pada 9-14 Maret 2014 di Palangkaraya.
Para peserta konferensi lintas negara ini mendesak
pemerintah, swasta, lembaga keuangan, organisasi dan masyarakat internasional,
menghentikan semua aktivitas produksi, perdagangan, dan konsumsi komoditas dari
perusakan hutan. Juga, perampasan lahan, dan berbagai pelanggaran hak-hak
masyarakat adat.
Deklarasi Palangkaraya juga mendesak penghentian semua
aktivitas penyerobotan tanah dan hutan masyarakat adat oleh proyek-proyek
agribisnis, industri ekstraktif, infrastruktur, energi. Termasuk ‘ekonomi
hijau’ yang mengingkari hak-hak dasar masyarakat adat dan komunitas lokal.
Mereka diminta segera mengambil tindakan nyata menjunjung hak-hak
masyarakat adat pada semua tingkatan. Termasuk hak atas tanah, wilayah, dan
sumberdaya, menentukan pembangunan yang diperlukan dan untuk terus memiliki.
Juga, menguasai dan mengelola tanah-tanah menurut pengetahuan dan mata
pencaharian mereka sendiri.
Carmenza Tez Juogibioy, tokoh masyarakat adat dari
Colombia mengatakan, ancaman hutan-hutan masyarakat adat menunjukkan
keserupaan wajah di seluruh dunia. Negara dan perusahaan menebangi hutan
meskipun melanggar hak-hak masyarakat yang berdiam di dalam dan sekitar hutan.
“Pemerintah sama sekali tidak menghargai
tuntutan-tuntutan kami. Namun kami terus berjuang demi penghormatan tanah dan
kampung halaman, serta penghormatan atas hak azasi manusia. Itu sumber hidup
masyarakat kami,” katanya.
Perwakilan masyarakat adat yang menyusun Deklarasi
Palangkaraya terdiri dari utusan-utusan masyarakat adat dan komunitas lokal
dari Afrika (Liberia, Cameroon, Democratic Republic of Congo), Asia Tenggara (Indonesia,
Malaysia) dan Amerika Latin (Peru, Colombia, Guyana dan Paraguay). Ada juga
organisasi masyarakat sipil dari Indonesia dan luar negeri.
Marceline Louanga dari Kamerun mengatakan, masyarakat
sangat memahami bagaimana mengelola hutan sebagai sumber hidup mereka.
Namun, masyarakat adat makin sulit mengakses hutan adat.
“Hutan memberi makan dan melindungi kami. Masyarakat
kami tahu bagaimana melindungi hutan, tetapi negara mengambil paksa hutan-hutan
kami. Kami tidak lagi memiliki akses ke lahan-lahan hutan. Ini berat bagi beban
kami mendidik anak-anak,” katanya.
Hutan-hutan adat di berbagai negara termasuk di Kalteng, Indonesia, banyak terampas oleh para investor berkat izin dari pemerintah. |
“Masyarakat adat di seluruh dunia secara heroik
mempertahankan hutan terhadap berbagai tekanan dan ancaman yang berlangsung.
Pengelolaan hutan efektif harus dibangun di atas kearifan lokal yang melindungi
hak-hak masyarakat adat. Mereka menerapkan peraturan tegas terhadap investasi
yang mengancam kehidupan masyarakat adat dan hutan mereka.”
Deklarasi Palangkaraya menegaskan, dengan melindungi
hak-hak masyarakat adat, kerusakan hutan bisa dihambat bahkan dipulihkan.
“Masyarakat membuktikan kemampuan mereka mengelola
hutan selama bergenerasi. Mereka memiliki pengetahuan inovatif menjaga hutan
seraya mengembangkan ekonomi dan menghasilkan pangan sekaligus melestarikan
kehidupan spiritual berkaitan dengan hutan.” kata Edy Subahani dari Kelompok
Kerja SHK Kalimantan Tengah.
Edy Subahani menambahkan, masyarakat adat banyak
berperan memberikan pendapatan bagi perekonomian lokal dan nasional. “Juga
terlibat pemulihan hutan-hutan rusak.” Pemerintah, katanya, sepantasnya
memperkuat dan mengembangkan kemampuan serta pengetahuan masyarakat, sekaligus
mengakui, menghormati dan memulihkan hak-hak mereka.
“Pemerintah semestinya menghentikan dan menunda
pemberian izin kepada proyek-proyek pembangunan, yang melanggar hak masyarakat
dan merusak hutan. Hanya dengan mengakui, menjamin dan melindungi hak
masyarakat, deforestasi benar-benar dikendalikan sekaligus memberi
kesejahteraan bagi masyarakat.”
Selama kurang lebih satu minggu peserta lokakarya
membahas laju kerusakan hutan dunia yang sangat mengkhawatirkan. Mereka juga
mengkaji penyebab lenyapnya hutan dunia beserta dampak-dampak terhadap
masyarakat adat .
Pada lokakarya itu juga diidentifikasi kesenjangan
antara hukum HAM internasional yang mengakui hak-hak masyarakat, dan perlunya
perlindungan negara. Pemerintah dinilai gagal menegakkan penghormatan hak-hak
masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Salah satu lewat izin-izin konsesi yang
mereka berikan pada perusahaan.
“Ini tanpa ada keputusan bebas masyarakat menyatakan
setuju atau tidak, terhadap proyek di tanah mereka yang dikenal dengan free,
prior, and informed consent,” kata Edy.
Para peserta lokakarya dari berbagai negara tengah berdiskusi tentang hutan adat. |
source : mongabay
Tidak ada komentar:
Posting Komentar