Aksi gabungan masyarakat adat, dan mahasiswa mempertanyakan impelementasi putusan MK yang terkesan lamban. |
Hampir setahun, sejak 16 Mei 2013, putusan
Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, hutan adat bukan hutan negara. Kenyataan
di lapangan, pengakuan itu belum ada.
Kekecewaan masyarakat adat terhadap ketakseriusan
pemerintah ini disuarakan dalam sejumlah aksi sekaligus memperingati Hari
Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara sekaligus hari lahir Aliansi Mansyarakat
Adat Nusantara (AMAN) ke 15, jatuh pada 17 Maret 2014. Aksi di berbagai daerah
termasuk Maluku Utara dan Sulawesi Selatan.
Di Ternate, Malut, seratusan warga dari sejumlah
perwakilan komunitas adat dan aktivis tergabung dalam Koalisi Pendukung Hutan
Adat Malut unjuk rasa di sejumlah titik di Ternate, antara lain Dinas Kehutanan
Malut, RRI Ternate dan Pasar Gamalama.
Mereka menuntut pembubaran Kementerian Kehutanan
dan mendesak pemerintah segera mengimplementasikan Keputusan MK No
35/PUU-X/2012.
“Hampir satu tahun, , Kementerian dan Dinas
Kehutanan tak berbuat apa-apa. Seakan tak ikhlas melaksanakan putusan ini,”
kata Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Malut kepada Mongabay, Senin
(17/3/14).
Hingga saat ini Dinas Kehutanan Malut terus
berjanji menindaklanjuti keputusan MK ini, tetapi janji tak juga
terwujud. “Sampai kapan janji itu dibuktikan? Tak ada kejelasan sama
sekali. Karena inilah kemudian kami menuntut agar Kemenhut dibubarkan karena
tak becus mengurus hutan dan tak ikhlas mengimplementasikan putusan MK 35.”
Aksi juga mendesak pemerintah segera mengesahkan
RUU Perlindungan Masyarakat Hukum ADAt dan perda tentang masyarakat adat.
Menurut Munadi, selama ini hampir seluruh hutan
di Malut dijadikan kawasan hutan negara. Tak ada satu pun diberikan kepada
masyarakat adat. Yang terjadi, pemberian konsesi pengelolaan kepada investor
tambang, HPH, HTI dan sawit.
“Mereka lebih memilih memberikan hutan untuk
investor dibandingkan kepada masyarakat yang sebenarnya pemilik sah hutan itu.”
Desakan masyarakat adat di HUT AMAN ke 15. Mereka menuntut pemerintah segera menjalankan putusan MK 35, hutan adat bukan hutan negara. |
Munadi juga mengkritik kinerja Menteri Kehutanan
Zulkifli Hasan, diibaratkan pesulap yang dengan gampang menunjuk peta untuk
menetapkan suatu wilayah menjadi kawasan hutan. Padahal, mungkin di wilayah itu
hutan milik masyarakat adat.
“Konflik terjadi dimana-mana. Kriminalisasi
masyarakat yang menuntut hak atas hutan, penangkapan oleh polisi ketika membuka
kebun di dalam kawasan hutan serta penyerobotan lahan masyarakat oleh investor
tambang dan sawit menjadi rahasia umum di Malut.”
Masri Anwar, Biro Advokasi AMAN Malut, juga
koordinator lapangan aksi mengatakan, aksi itu merupakan akumulasi berbagai
permasalahan di masyarakat adat.
Di Malut terdapat 345 izin usaha tambang untuk
eksplorasi dan eksploitasi, dan dua blok Kawasan Taman Nasional, yaitu KTN
Aketajawe dan Lolobata.
Menurut Masri, saat ini Malut memiliki 48
komunitas adat tergabung dalam AMAN Malut. Kondisi mereka relatif sama, rentan
ancaman pengusiran dan kriminalisasi. Mereka pun kesulitan mengakses
hutan-hutan tempat menggantungkan hidup selama ini.
Komunitas adat yang terancam antara lain, Suku
Sawai, terletak Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah. Mereka
berdiam di sejumlah desa antara lain Desa Lelilef Woi Bulan, Sagea, Gemaf,
Lelilef Sawai, Kobe, Sidanga, Weda, Fritu, Wale, Messa dan Dote, dengan
populasi diperkirakan sekitar 10.000 jiwa.
Tak hanya minim perhatian pemerintah daerah,
mereka juga terancam pertambangan nikel di daerah itu, yang mematok tanah
hingga puluhan ribuan hektar.
Di Sulawesi Selatan, peringatan HKMAN dipusatkan
di dua titik, yaitu di Palopo dan Kabupaten Sinjai. Di Palopo, aksi oleh
seratusan perwakilan masyarakat adat se-Tana Luwu dan Organisasi Mahasiswa
se-Kota Palopo tergabung dalam Front Gerakan Bersama.
Perwakilan mereka diterima Ketua DPRD Kota
Palopo, Tasik dan sejumlah pimpinan DPRD Kota Palopo lain. Mereka berjanji
menindaklanjuti tuntutan ini.
Menurut Mahir Takaka, Deputi III Pengurus AMAN
Pusat, sejak lima belas tahun gerakan masyarakat adat nusantara dideklarasikan
di Hotel Indonesia Jakarta, ada beberapa perubahan kebijakan terkait masyarakat
adat. Salah satu keputusan MK 35.
Hanya, pemerintah seakan tidak serius dalam
implementasi kebijakan ini. Kemenhut justru mengeluarkan berbagai
kebijakan yang bertentangan dengan Putusan MK.35 dan terkesan menunda
pembahasan RUU PMHA.
“Bahkan, Kemenhut menggunakan UU Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan untuk mengkriminalisasi masyarakat adat, salah
satu konflik masyarakat Ba’tan di dataran tinggi Palopo yang berkonflik dengan
BKSDA.”
Untuk itu, hadir disini meminta DPRD dan
pemerintah berkomitmen melaksanakan putusan MK 35 tentang hutan adat ini. Tasik
berjanji segera menindaklanjuti tuntutan ke pihak-pihak terkait.
Pimpinan DPRD Palopo dalam kesempatan itu juga
menandatangani petisi MK 35, yang dilanjutkan penandatangan surat dukungan
percepatan pengesahan RUU PHMA yang ditandatangani langsung ketua, wakil I,
ketua dan anggota komisi I DPRD Palopo.
Bata Manurung, Ketua PB Aman Tana Luwu,
mengapresiasi perhatian dan dukungan DPRD Palopo. Dukungan itu, segera
diserahkan kepada DPR Pusat. “Surat dukungan percepatan pengesahan RUU dan
petisi MK 35 ini akan dikirim ke pansus DPR dan Kemenhut. Ini sebagai bukti
aspirasi daerah.”
Aksi serupa di Kabupaten Sinjai. Gerakan
Rakyat Tolak Tambang Bonto Katute (Gertak) mendesak pemerintah menghentikan
kriminalisasi warga yang tinggal di sekitar hutan adat. Mereka juga menolak
penentuan tapal batas hutan lindung secara sepihak dan tidak partisipatif.
Mereka mendesak pemerintah segera melakukan pemetaan partisipatif untuk kawasan
hutan lindung, sebagai bagian dari implementasi putusan MK 35.
Wahyullah, juru bicara Gertak, menuding
pemerintah selama ini lebih perduli pada kepentingan segelintir pengusaha
tambang dibanding kepentingan warga. Terbukti, dengan kasus pengusiran dan
kriminalisasi warga.
Rumah warga adat yang dibakar dalam operasi gabungan TNBBS di Bengkulu. |
Harus Jalankan Putusan MK
Sementara itu, Komnas HAM meminta pemerintah daerah
aktif berkoordinasi dengan lembaga pemerintah lain dalam menjalankan keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) No 35 Tahun 2013, mengenai hutan adat bukan hutan
negara. “Pemerintah daerah tak harus menunggu pusat dulu baru mengurusi
masyarakat adat, misal, tak harus setelah lahir UU Perlindungan
Masyarakat Adat,” kata Nur Kholis, komisioner Komnas HAM, dihubungi
Rabu(19/3/14).
Dia mengatakan, Kementerian Kehutanan seharusnya
menghormati Keputusan MK No 35, hingga tidak sweeping di kawasan hutan
yang diklaim sebagai hutan negara. Kemenhut diminta bermusyawarah dengan
masyarakat adat. “Hal dilakukan selama proses pemetaan hutan adat di suatu
wilayah selesai dilakukan, dan ditetapkan secara hukum,” katanya.
Kepolisian, juga harus menghormati Keputusan MK
ini. “Mereka jangan lagi menangkap atau memproses hukum masyarakat adat yang
masuk ke wilayah hutan. Mereka harus tahu betul mengenai status hukum hutan.
Jangan hanya berdasarkan klaim sepihak dari Kehutanan. Banyak hutan baru tahap
penunjukan belum penetapan.”
Komnas HAM, katanya akan aktif memonitoring
wilayah yang berpotensi konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah maupun
perusahaan.
Kasus Suku Semende
Sementara itu, Mualimin Pardi Dahlan, Ketua
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), menjelaskan, selama
2013, tercatat lebih kurang 203 masyarakat adat ditangkap dan ditahan
kepolisian dengan tuduhan merambah atau merusak hutan negara.
“Salah satu kasus yang kita dampingi yakni empat
warga adat Semende di Bengkulu. Mereka dituduh merambah hutan.”
Empat warga ini, ditangkap tim Balai Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Polres Kaur pada 23 Desember 2013.
Kini, diadili di Pengadilan Negeri Kelas II Bintuhan Kabupaten Aur Bengkulu.
“Ini jelas sekali kriminalisasi terhadap masyarakat adat.”
Menurut dia, seharusnya mereka tidak diproses
hukum. Justru yang harus dilakukan membahas soal status hutan yang diklaim
masuk TNBS itu. “Apalagi ada keputusan MK 35 yang mengakui hutan adat. Dalam
kondisi ini pengadilan harus membebaskan mereka dari berbagai tuntutan,” kata
Mualimin.
Penuntut Umum Heri Antoni, mendakwa keempat warga
Semende melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri dalam kawasan hutan
sebagaimana ketentuan Pasal 92 Ayat (1) huruf b Jo. Pasal 17 ayat (2) huruf a
Undang-Undang RI Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan. Laporan dari Makassar dan Palembang.
source : mongabay
Tidak ada komentar:
Posting Komentar