Ada banya cara yang bisa dilakukan untuk melindungi, menjaga serta
melestarikan hutan, salah satunya dengan menerapkan hukum adat terhadap
pelaku pengrusakan serta pembakar hutan yang dilindungi.
Seperti yang dilakukan masyarakat adat Desa Gohong, Kecamatan Kahayan
Hilir, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah, yang
menerapkan hukum adat bagi pelaku pembakaran maupun pengrusakan hutan.
“Aturan adat ada, kalau masyarakat didesa ini melanggar adat istiadat
seperti membakar lahan yang merugikan, maka akan disingir dan diberi
jipen, artinya hukuman dan denda atau ganti rugi,” kata Marto, selaku
Mantir Adat atau Ketua Adat Desa Gohong kepada
Mongabay-Indonesia.
Kepala Desa Gohong, Yanto Adam mengatakan, humum adat yang melindungi
hutan adat di desa Gohong sangat dihormati dan ditaati oleh
masayarakat.
“Kalau tidak boleh digarap ya tidak boleh, kalau memanfaatkan sebatas
tidak melanggar aturan dan tidak menebang kayu, itu bisa dilakukan,”
kata Yanto Adam, Kepala Desa Gohong.
|
Kondisin hutan Desa Gohong dipinggir sungai. |
Dasar hukum hutan adat desa Gohong menurut Yanto Adam, awal mulanya
masih berupa Surat Keputusan (SK) dari Damang (Kepala Adat Kabupaten)
pada 2004, namun masih belum diakui pemerintah dalam tata ruang sehingga
masih menjadi hutan lindung. Sampai pada 2012 desa Gohong mendapat SK
penetapan hutan desa dari pemerintah seluas 3.155 H, yang merupakan satu
hamparan dengan hutan desa milik Kelurahan Kelawak, Mantaren 1, serta
desa Bontoi, dari total 16.000 hektar.
“Sebenarnya ada peraturan pemerintah yaitu UU 18 tahun 2013 tentang
Pengrusakan Hutan, kepada masyarakat jangan sampai terjadi kalau tidak
mau menjalani hukum. Di tingkat desa kami masih mencari jalan terbaik
untuk membuat Perdes di hutan desa untuk memberi efek jera pada
masyarakat,” jabar Yanto Adam.
Selain mendapat hukuman secara adat berupa denda, pelaku pelanggaran
juga harus memberi ganti rugi berupa korban tebusan kepada orang yang
dirugikan akibat lahannya yang terkena dampak.
‘Kebiasaannya misal 1 hektar dendanya jipen sempak, atau denda penuh.
1 jipen nilainya 100 ribu rupiah, kalau 30 jipen berarti 3 juta
nominalnya, juga diiringi dengan denda yang lain, yakni korban tebusan
untuk lokasi dan orang yang dirugikan, seperti sapi, kerbau, sesuai
kebutuhan lingkungan,” terang Marto ditemui di balai Desa Gohong.
Masyarakat Desa Gohong juga telah mendirikan Lembaga Pertahanan Hutan
Adat Desa (LPHAD), untuk mempertahankan dan melindungi hutan adat desa.
Lembaga Pertahanan Hutan Adat Desa (LPHAD) diungkapkan oleh Marto,
hampir tiap minggu melakukan pengawasan ke lokasi hutan adat desa,
sambil melakukan penggarapan pada lahan yang menjadi hak masyarakat.
Marto berharap pemerintah mau membantu masyarakat sukarelawan dalam
menjaga hutan desa, dengan memberi bantuan alat transportasi air berupa
perahu klotok kecil atau biasa disebut alkon.
|
Kepala
Desa Gohong Yanto Adam
menunjukkan penolakan masuknya invenstor kelapa
sawit masuk wilayah Desa Gohong. |
“Karena jarak ke hutan desa memakan waktu sekitar 2 jam baru sampai,
maka kmi sangat memerlukan bantuan berupa kendaraan air. Masyarakat
ingin mempertahankan keasrian hutan, sehingga tidak membuka jalan darat
untuk menuju kesana, selama ini kami melalui jalan air,” ujarnya.
Wilayah Desa Gohong sendiri terdiri dari lahan rawa atau gambut, yang
mencapai 90 persen keseluruhan luasan. Kelestarian hutan di Desa Gohong
sebelumnya sangat terjaga, hingga masuknya proyek pembukaan lahan
gambut (PLG) 1 juta hektar pada jaman Presiden Soeharto, menyebabkan
kerusakan ekosistem hutan di Desa Gohong.
“Sebelumnya tidak ada kerusakan, ekosistem terjaga, tapi setelah PLG
masuk, ekosistem maupun kelestarian hutan musnah. Setelah 2002, 2006
kebakaran hutan yang sangat besar, banyak hutan di desa Gohong yang
musnah,” imbuhnya.
Hutan adat desa Gohong yang bertahan saat ini sekitar 24 hektar.
Masyarakat Desa Gohong saat ini melakukan pengelolaan dibantu LSM
lingkungan seperti Pokker dan Aman, untuk membantu menjaga kelestarian
hutan yang dikelola secara adat.
“Pihak Pokker dan Aman memberi fasilitas dengan membuat peta, dan
memberi tanaman atau pohon yang akan dilestarikan lagi. Kedepan pihak
pemerintah juga akan ikut andil dalam pelestarian hutan,” ucap Marto.
Beberapa pohon yang masih ada di hutan desa Gohong antara lain pohon
jelutung, gaharu, benoas, meranti, serta beberapa jenis pohon lainnya.
Hutan adat yang dilestarikan ini menurut Marto merupakan tempat
kehidupan bermacam-macam margasatwa, seperti burung enggang, burung
sebaruk, orang utan, bekantan, uwa-uwa, trenggiling, serta beberapa
satwa lainnya. Sayangnya saat ini beberapa burung dan satwa banyak yang
pindah atau musnah, akibat banyaknya kerusakan lahan di sekitar hutan.
“Target kedepan di hutan desa ini akan terjaga atau terlindungi,
sekaligus bisa memberi manfaat kepada masyarakat lokal maupun
internasional,” lanjut Marto menjelaskan.
Masyarakat adat desa Gohong bersama aktivis lingkungan setempat
menegaskan komitmennya untuk tetap menjaga hutan desa adat mereka,
meskipun tidak jarang tawaran para investor yang ingin membuka lahan
untuk usaha menggoda masyarakat.
“Apapun yang diminta perusahaan, termasuk garap lahan dulu baru nego
harga, bahkan pasang patok kami tidak akan perbolehkan, kami akan
menindak dan menyerahkannya pada hukum, jadi intinya kita akan tolak,”
tegas Marto.
source :
mongabay
Tidak ada komentar:
Posting Komentar