Rotan di Indonesia memiliki sejarah yang panjang, keberadaannya sendiri
sudah berabad-abad lamanya. Jaman dahulu rotan dianggap sebagai barang
mewah bermakna politis-ekonomis sehingga sering dibawa sebagai seserahan
bagi raja di negeri seberang. Misalnya pemberian “sepikul rotan” di
masa Sriwijaya kepada salah satu kerajaan di India, “baju perang rotan”
yang menandai hubungan baik Majapahit-China, “rotan putih” yang menjadi
pengikat kerajaaan-kerajaan di Semenanjung Sumatera (Pasai) di awal
munculnya kerajaan Islam-India. Pada masa penjajahan, rotan telah
menjadi komoditas dagang yang bernilai ekonomis tinggi. Buktinya, orang
Belanda yang masuk ke wilayah Kerajaan Kutai mulai membeli rotan dengan
cara barter terutama dengan bahan pokok, kain dan lain-lainnya.
Secara detail tulisan tentang sejarah perkembangan budidaya dan
perdagangan rotan memang sangat minim ditemukan, namun narasumber yang
dapat bercerita tentang rotan masih begitu banyak dan bisa dijumpai di
desa/kampung. Di Kutai Barat contohnya, etnis yang membudidayakan rotan
khususnya adalah etnis Kutai dan Dayak. Masyarakat Kutai dan Dayak
banyak menggunakan rotan sebagai bahan pengikat bangunan rumah dan
kebutuhan peralatan rumah tangga lainnya. Hal ini mendorong masyarakat
menanam dan membudidayakan rotan sesuai dengan jenis-jenis yang memang
sering dipakai seperti ; rotan Sega, Jahap, Seltup, Pulut Putih, Pulut
Merah dan Manau.
Menurut catatan sejarah yang dibuat oleh K. Heyne dalam “De Nuttige
Planten Van Indonesia”, disebutkan bahwa jenis rotan yang pertama kali
dibudidayakan di Indonesia adalah jenis rotan Sega. Pembudidayaan
dilakukan sebagai antisipasi kelangkaan rotan karena pada saat itu jenis
rotan Sega semakin lama semakin sulit dicari apalagi letaknya makin
jauh dari pinggir desa dan pinggir sungai. Kebun rotan yang pertama kali
yang didirikan dan secara otomatis menjadi perintis dalam pembudidayaan
rotan di Indonesia, terletak di wilayah sekitar desa Mengkatip dekat
kota Buntok, dan daerah sekitar desa Dadahup, Kapuas, keduanya berada di
Provinsi Kalimantan Tengah. Kegiatan pembudidayaannya telah mulai
dilakukan sekitar tahun 1850. Di daerah Palembang pembudidayaan rotan
mulai dilakukan sejak tahun 1905. Saat itu terdapat banyak ladang-ladang
bekas perladangan berpindah yang setelah dipanen lebih dari 2–3 kali
menjadi tak subur lagi sehingga ditanami dengan tanaman karet dan
tanaman rotan. Selain itu kawasan hutan negara masih luas dan
penduduknya masih cenderung sedikit sehingga petani banyak membuka lahan
baru untuk ditanami rotan.
Diketahuinya manfaat dan kegunaan rotan secara luas membuat rotan
menjadi populer dan bernilai ekonomi tinggi sehingga menjadi salah satu
sumber penghasilan bagi daerah-daerah penghasil rotan terutama di luar
pulau Jawa seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra. Rotan mulai
diperdagangkan secara luas antar pulau bahkan antar negara sejak tahun
1918. Permintaan akan rotan terus meningkat dan sebanyak-banyaknya serta
ada permintaan jenis baru sehingga jenis yang ditanam juga semakin
banyak. Tingginya nilai jual rotan dan tingginya permintaan semakin
mendorong para petani untuk membudidayakan rotan secara besar-besaran
sampai pada tahun 1980-an. Waktu itu harga 1 kg rotan Sega senilai
dengan 1 liter bensin atau 1 kg beras. Petani mengalami masa keemasan
saat itu. Apalagi dengan tidak adanya komoditas yang mampu menyaingi
rotan saat itu, rotan semakin merajai pasar.
Namun setelah tahun 1987 hingga sekarang harga rotan menjadi tidak
sebanding lagi. Hal ini akibat dari ditutupnya keran ekspor rotan ke
luar negri dan kebijakan Pemerintah tentang ekspor rotan yang
berganti-ganti setiap berganti kepemimpinan dan cenderung menguntungkan
pihak-pihak tertentu yang tentunya bukan petani. Rotan yang pernah
mengalami masa keemasannya semoga saja tidak menjadi ‘tinggal sejarah’.
source : KPSHK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar