Hutan Desa |
Untuk dapat mengelola hutan
desa, Kepala Desa membentuk Lembaga Desa yang nantinya bertugas
mengelola hutan desa yang secara fungsional berada dalam organisasi
desa. Yang perlu dipahami adalah hak pengelolaan hutan desa ini bukan
merupakan kepemilikan atas kawasan hutan, karena itu dilarang
memindahtangankan atau mengagunkan, serta mengubah status dan fungsi
kawasan hutan. Intinya Hakpengelolaan hutan desa dilarang digunakan
untuk kepentingan di luar rencana pengelolaan hutan, dan harus dikelola
berdasarkan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari. Lembaga Desa yang
akan mengelola hutan desa mengajukan permohonan hak pengelolaan kepada
Gubernur melalui bupati/walikota. Apabila disetujui, hak pengelolaan
hutan desa diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun, dan dapat
diperpanjang setelah dilakukan evaluasi yang dilakukan paling lama
setiap lima tahun sekali.
Apabila di areal Hak Pengelolaan
Hutan Desa terdapat hutan alam yang berpotensi hasil hutan kayu, maka
Lembaga Desa dapat mengajukan permohonan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam dalam Hutan Desa. Dan apabila di areal
Hak Pengelolaan Hutan Desa dapat dikembangkan hutan tanaman, maka
Lembaga Desa dapat mengajukan permohonan IUPHHK Hutan Tanaman dalam
Hutan Desa. Namun dalam pemanfaatannya mengikuti ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pemanfaatan hasil hutan kayu
pada hutan alammaupun hutan tanaman. Selain itu pemungutannya dibatasi
paling banyak 50 m3 tiap lembaga desa per tahun.
Dengan mendapat hak pengelolaan
hutan desa, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan
berpotensi sangat besar dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Hal
ini dimungkinkan karena pemegang hak pengelolaan hutan desa berhak
memanfaatkan kawasan, jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan kayu dan
bukan kayu. Namun untuk di hutan lindung tidak diijinkan memanfaatkan
dan memungut hasil hutan kayu. Dalam memanfaatkan kawasan hutan desa,
baik yang berada di hutan lindung maupun hutan produksi masyarakat dapat
melakukan berbagai kegiatan usaha, yaitu budidaya tanaman obat, tanaman
hias, jamur, lebah, penangkaran satwa liar, atau budidaya pakan ternak.
Sedangkan dalam memanfaatkan jasa lingkungan dapat melalui kegiatan
usaha pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam,
perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan
lingkungan, atau penyerapan dan penyimpanan karbon.
Hasil identifikasi desa yang
berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan tahun 2007 yang dilakukan
oleh Kementerian Kehutanan dan Biro Pusat Statistik di 15 propinsi,
yaitu Sumut, Sumbar, Riau Sumsel, Bangka Belitung, Jateng, Bali, NTB,
NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Kalsel, Sultra, dan Maluku terdapat 31.957
desa. Dengan rincian 1305 desa terdapat di dalam kawasan, 7.943 berada
di tepi kawasan hutan, dan 22.709 berada di luar kawasan hutan.
Dengan jumlah desa di dalam dan
di sekitar kawasan hutan yang begitu besar, maka diperlukan dukungan
kelembagaan bersama antara Kementerian Kehutanan yang bertanggung jawab
terhadap pengelolaan kawasan hutan, Kementerian Dalam Negeri yang
bertanggung jawab terhadap pemerintahan dan masyarakat pedesaan di
daerah (kabupaten, kecamatan dan desa) dan Kementerian Pertanian yang
bertanggung jawab terhadap Sumberdaya Manusia (petani dan penyuluh)
pedesaan.
Hal ini menuntut perhatian kita,
karena di tingkat lapangan petani atau masyarakat mengelola hutan
rakyat dan lahannya dengan berbagai jenis tanaman baik tanaman hutan,
tanaman perkebunan, tanaman hortikultura, tanaman pangan dan juga ternak
mereka yang terkenal disebut „intergrated agroforestry farming system“.
Tidak ada petani atau masyarakat pedesaan yang mengelola hutan rakyat
dan lahannya secara monokultur. Untuk itu dibutuhkan adanya dukungan
kebijakan Multi-Sektor berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) Kementerian
Kehutanan, Kementerian Dalam negeri dan Kementerian Pertanian.
Source : Saka Wanabakti Kawali
Source : Saka Wanabakti Kawali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar