Sejarah Karet
di Indonesia
Sebagai negara agraris, Indonesia sudah lama dikenal
sebagai kawasan yang subur bahkan jauh sebelum negeri ini mendapatkan
kemerdekaannya. Beragam tumbuhan dan tanaman dapat tumbuh dengan baik di hampir
setiap jengkal tanah bumi yang dilalui oleh garis katulistiwa ini. Tidak
mengherankan jika melihat jutaan hektar beragam tanaman terhampar luas di
Nusantara ini, baik yang ditanam dan diusahakan oleh masyarakat secara mandiri
maupun oleh perusahaan-perusahaan. Keadaan tanahnya yang sangat baik untuk
dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia untuk mengusahakan beragam tanaman, baik
yang berorientasi pemenuhan kebutuhan sehari-hari maupun yang ditujukan untuk
kebutuhan ekspor. Mulai dari padi, palawija, kopi, cengkeh, dan kayu manis,
hingga karet dan kelapa sawit dapat tumbuh subur dan berhasil sangat memuaskan
di bumi Indonesia.
Salah satu jenis tanaman yang banyak diusahakan di
Indonesia sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu adalah karet. Jenis karet
pertama yang diusahakan di Indonesia adalah karet alami Asia Tenggara (ficus
elastica) yang sudah mulai ditanam sejak tahun 1860-an di berbagai perkebunan
di Jawa. Karet jenis ini pada awalnya adalah tanaman karet liar yang tidak
sengaja ditanami alias tumbuh secara alami di hutan di kawasan Asia Tenggara.
Karet jenis ini dikenal dengan beragam nama di beberapa tempat dan daerah di Sumatera,
seperti di Palembang dengan sebutan rambung dan karet batang di Bengkulu. Akan
tetapi karena dianggap kurang produktif, akhirnya pemerintah kolonial Belanda
memperkenalkan jenis baru (Castiloa Elastica atau Hevea Brasiliensis) yang
ditemukan oleh Michele de Cuneo pada tahun 1493 di Amerika Selatan.
Pengalihan penanaman karet dari ficus elastica ke
jenis baru (Castiloa Elastica atau Hevea Brasiliensis) yang didatangkan dari
kawasan Amerika Selatan ini karena kebijakan pemerintah kolonial Belanda untuk memenuhi
tingginya permintaan karet di pasaran yang salah satunya akibat makin pesatnya
perkembangan industri ban. Jenis ini adalah tanaman karet tahunan yang
mempunyai kehidupan ekonomis antara 25-30 tahun. Pohonnya dapat diproduksi
getah (latex)-nya ketika telah berdiameter 45 cm dan berketinggian 100 cm di
atas pangkal akar atau ketika telah berumur 5 atau 6 tahun. Karet jenis ini
dapat tumbuh, terutama, di dataran rendah yang beriklim tropis dengan
temperatur udara antara 24-28 derajat Celsius dengan curah hujan tahun 2.000
mm. Setelah dilakukan serangkaian penanaman percobaan, ternyata karet jenis ini
cocok untuk ditanam dan diusahakan di Nusantara karena iklim dan kondisi
tanahnya memang sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkannya.
Sebagai upaya mewujudkan keinginan untuk menaikkan
produksi agar terpenuhinya permintaan pasar yang besar sehingga berimplikasi
pada peningkatan pendapatan negara, maka pemerintah kolonial Belanda membuka
lahan perkebunan karet. Lokasi yang dipilih sebagai tempat pengusahaan tanaman
karet jenis baru ini adalah Sumatra Timur yang mencakup Sumatra Selatan, Jambi
dan Bengkulu karena lahan yang tersedia di kawasan ini masih sangat luas. Tahun
1902 merupakan tahun pertama pengusahaan jenis karet baru di Sumatra Timur yang
dilakukan perusahaan Inggris, Harrison & Crossfield Company, yang sudah
berpengalaman di Malaysia, diikuti oleh perusahaan Belgia, Sociente Financiere
des Caoutchoues, pada tahun 1909, dan perusahaan patungan Belanda-Amerika,
Hollands Amerikaanse Plantage Maatschappij (HAPM), pada tahun 1910-1911.
Peningkatan harga karet di pasaran di rentang tahun
1910 dan 1911 membuat beragam perusahaan yang berafiliasi dengan pemerintah
kolonial Belanda ini terus menambah jumlah areal perekebunannya. Meskipun pada
tahun 1920-1921 terjadi kemerosotan harga yang cukup signifikan di pasaran,
namun ternyata tidak berlangsung lama karena pada tahun 1922 dan 1926 kembali
terjadi peningkatan harga jual di pasaran seiring dengan semakin majunya
industri mobil di Amerika. Keuntungan besar dan berlipat ganda yang didapatkan
ini tentu berimplikasi positif terhadap perekonomian Belanda, baik di negeri
jajahan Indonesia maupun negeri asalnya di Eropa.
Melihat keberhasilan yang dicapai oleh
perusahaan-perusahan perkebunan Belanda dalam mengusahakan tanaman karet
tersebut, terutama akibat fluktuasi harga karet yang tinggi di pasaran dunia,
masyarakat pun menjadi tertarik untuk ikut mengusahakan jenis tanaman ini
meskipun masih berupa usaha sambilan dari kegiatan utama mereka sebagai petani
penanam tanaman pangan, seperti padi dan palawija. Kebiasaan yang dilakukan
masyarakat saat itu adalah menanam bibit karet di areal lahan yang sudah
dipanen tanaman pangannya atau di areal yang baru dibuka sebelum ditanam
tanaman pangan di atasnya. Selanjutnya, karet tersebut dibiarkan begitu saja
hingga tiba saat diproduksi getahnya. Pekerjaan penyadapan dilakukan oleh
masyarakat pemilik sendiri dengan tanpa melibatkan orang lain. Sedangkan
pemasarannya sangat tergantung dengan harga yang ditetapkan oleh perusahaan
perkebunan Belanda sebagai satu-satunya penampung karet hasil produksi
masyarakat saat itu.
Berdasarkan penelusuran terhadap beragam literatur
terkait karet di Sumatra, dapat disimpulkan bahwa orang Sumatra sudah menanam
karet jenis baru pada tahun 1905. Ini berarti bahwa orang Sumatra sudah
tertarik mengusahakan tanaman karet selang beberapa saat saja dari pembukaan
perkebunan karet yang dilakukan oleh beragam perusahaan yang berafiliasi dengan
Belanda. Lebih lanjut dikatakan bahwa di hampir semua distrik di Jambi,
orang-orang lokal sudah menanam salah satu jenis tanaman komoditas ekspor ini.
Hal yang sama juga terjadi di Palembang, Bengkulu, Komering, Rawas, dan
daerah-daerah hulu dan hilir Sungai Musi. Pendek kata, karet sudah menjadi
primadona yang menarik hati setiap warga masyarakat di Sumatra untuk
mengusahakannya. Hal ini dapat dimengerti karena permintaan pasar yang tinggi
membuat harga jualnya melambung sehingga pada gilirannya membuat kesejahteraan
masyarakat semakin terangkat dan membaik.
Source : Pahrudin HM, M.A.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar