Selasa, 11 Februari 2014

Sejarah Karet di Indonesia


Sejarah Karet di Indonesia

Sebagai negara agraris, Indonesia sudah lama dikenal sebagai kawasan yang subur bahkan jauh sebelum negeri ini mendapatkan kemerdekaannya. Beragam tumbuhan dan tanaman dapat tumbuh dengan baik di hampir setiap jengkal tanah bumi yang dilalui oleh garis katulistiwa ini. Tidak mengherankan jika melihat jutaan hektar beragam tanaman terhampar luas di Nusantara ini, baik yang ditanam dan diusahakan oleh masyarakat secara mandiri maupun oleh perusahaan-perusahaan. Keadaan tanahnya yang sangat baik untuk dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia untuk mengusahakan beragam tanaman, baik yang berorientasi pemenuhan kebutuhan sehari-hari maupun yang ditujukan untuk kebutuhan ekspor. Mulai dari padi, palawija, kopi, cengkeh, dan kayu manis, hingga karet dan kelapa sawit dapat tumbuh subur dan berhasil sangat memuaskan di bumi Indonesia.

Salah satu jenis tanaman yang banyak diusahakan di Indonesia sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu adalah karet. Jenis karet pertama yang diusahakan di Indonesia adalah karet alami Asia Tenggara (ficus elastica) yang sudah mulai ditanam sejak tahun 1860-an di berbagai perkebunan di Jawa. Karet jenis ini pada awalnya adalah tanaman karet liar yang tidak sengaja ditanami alias tumbuh secara alami di hutan di kawasan Asia Tenggara. Karet jenis ini dikenal dengan beragam nama di beberapa tempat dan daerah di Sumatera, seperti di Palembang dengan sebutan rambung dan karet batang di Bengkulu. Akan tetapi karena dianggap kurang produktif, akhirnya pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan jenis baru (Castiloa Elastica atau Hevea Brasiliensis) yang ditemukan oleh Michele de Cuneo pada tahun 1493 di Amerika Selatan. 

Pengalihan penanaman karet dari ficus elastica ke jenis baru (Castiloa Elastica atau Hevea Brasiliensis) yang didatangkan dari kawasan Amerika Selatan ini karena kebijakan pemerintah kolonial Belanda untuk memenuhi tingginya permintaan karet di pasaran yang salah satunya akibat makin pesatnya perkembangan industri ban. Jenis ini adalah tanaman karet tahunan yang mempunyai kehidupan ekonomis antara 25-30 tahun. Pohonnya dapat diproduksi getah (latex)-nya ketika telah berdiameter 45 cm dan berketinggian 100 cm di atas pangkal akar atau ketika telah berumur 5 atau 6 tahun. Karet jenis ini dapat tumbuh, terutama, di dataran rendah yang beriklim tropis dengan temperatur udara antara 24-28 derajat Celsius dengan curah hujan tahun 2.000 mm. Setelah dilakukan serangkaian penanaman percobaan, ternyata karet jenis ini cocok untuk ditanam dan diusahakan di Nusantara karena iklim dan kondisi tanahnya memang sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkannya.
Sebagai upaya mewujudkan keinginan untuk menaikkan produksi agar terpenuhinya permintaan pasar yang besar sehingga berimplikasi pada peningkatan pendapatan negara, maka pemerintah kolonial Belanda membuka lahan perkebunan karet. Lokasi yang dipilih sebagai tempat pengusahaan tanaman karet jenis baru ini adalah Sumatra Timur yang mencakup Sumatra Selatan, Jambi dan Bengkulu karena lahan yang tersedia di kawasan ini masih sangat luas. Tahun 1902 merupakan tahun pertama pengusahaan jenis karet baru di Sumatra Timur yang dilakukan perusahaan Inggris, Harrison & Crossfield Company, yang sudah berpengalaman di Malaysia, diikuti oleh perusahaan Belgia, Sociente Financiere des Caoutchoues, pada tahun 1909, dan perusahaan patungan Belanda-Amerika, Hollands Amerikaanse Plantage Maatschappij (HAPM), pada tahun 1910-1911.

Peningkatan harga karet di pasaran di rentang tahun 1910 dan 1911 membuat beragam perusahaan yang berafiliasi dengan pemerintah kolonial Belanda ini terus menambah jumlah areal perekebunannya. Meskipun pada tahun 1920-1921 terjadi kemerosotan harga yang cukup signifikan di pasaran, namun ternyata tidak berlangsung lama karena pada tahun 1922 dan 1926 kembali terjadi peningkatan harga jual di pasaran seiring dengan semakin majunya industri mobil di Amerika. Keuntungan besar dan berlipat ganda yang didapatkan ini tentu berimplikasi positif terhadap perekonomian Belanda, baik di negeri jajahan Indonesia maupun negeri asalnya di Eropa.

Melihat keberhasilan yang dicapai oleh perusahaan-perusahan perkebunan Belanda dalam mengusahakan tanaman karet tersebut, terutama akibat fluktuasi harga karet yang tinggi di pasaran dunia, masyarakat pun menjadi tertarik untuk ikut mengusahakan jenis tanaman ini meskipun masih berupa usaha sambilan dari kegiatan utama mereka sebagai petani penanam tanaman pangan, seperti padi dan palawija. Kebiasaan yang dilakukan masyarakat saat itu adalah menanam bibit karet di areal lahan yang sudah dipanen tanaman pangannya atau di areal yang baru dibuka sebelum ditanam tanaman pangan di atasnya. Selanjutnya, karet tersebut dibiarkan begitu saja hingga tiba saat diproduksi getahnya. Pekerjaan penyadapan dilakukan oleh masyarakat pemilik sendiri dengan tanpa melibatkan orang lain. Sedangkan pemasarannya sangat tergantung dengan harga yang ditetapkan oleh perusahaan perkebunan Belanda sebagai satu-satunya penampung karet hasil produksi masyarakat saat itu. 

Berdasarkan penelusuran terhadap beragam literatur terkait karet di Sumatra, dapat disimpulkan bahwa orang Sumatra sudah menanam karet jenis baru pada tahun 1905. Ini berarti bahwa orang Sumatra sudah tertarik mengusahakan tanaman karet selang beberapa saat saja dari pembukaan perkebunan karet yang dilakukan oleh beragam perusahaan yang berafiliasi dengan Belanda. Lebih lanjut dikatakan bahwa di hampir semua distrik di Jambi, orang-orang lokal sudah menanam salah satu jenis tanaman komoditas ekspor ini. Hal yang sama juga terjadi di Palembang, Bengkulu, Komering, Rawas, dan daerah-daerah hulu dan hilir Sungai Musi. Pendek kata, karet sudah menjadi primadona yang menarik hati setiap warga masyarakat di Sumatra untuk mengusahakannya. Hal ini dapat dimengerti karena permintaan pasar yang tinggi membuat harga jualnya melambung sehingga pada gilirannya membuat kesejahteraan masyarakat semakin terangkat dan membaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar